Balikpapan(5/11), Nansarunai.com– Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kalimantan Timur, Slamet Brotosiswoyo, menyatakan bahwa APINDO menghormati proses hukum dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Putusan tersebut diambil pada 31 Oktober 2024, dan APINDO menegaskan akan mematuhi segala ketentuannya.
“Kami menghormati putusan MK ini dan akan mematuhi segala regulasi yang ada. Namun, kami berharap semua pihak dapat mempertimbangkan dampak putusan ini secara lebih luas, khususnya mengingat tantangan ekonomi yang sedang dihadapi saat ini,” ujar Slamet.
Slamet memaparkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan yang signifikan, dengan tren deflasi yang menunjukkan penurunan daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada konsumsi domestik, yang pada gilirannya memengaruhi berbagai sektor, terutama industri padat karya yang sangat bergantung pada stabilitas ekonomi.
“Di tengah situasi seperti ini, fleksibilitas dalam kebijakan ketenagakerjaan sangat diperlukan agar dunia usaha dapat menyesuaikan diri dengan cepat. Kebijakan yang terlalu kaku berisiko menghambat kelangsungan usaha yang ujungnya bisa memengaruhi perekonomian secara lebih luas,” tambahnya.
APINDO menyoroti potensi ketidakpastian regulasi yang dapat timbul akibat pembatalan beberapa ketentuan kunci dalam UU Cipta Kerja, yang dinilai berpotensi mempengaruhi iklim investasi di Indonesia.
“Kepastian regulasi dan stabilitas hukum adalah faktor penting bagi pelaku usaha dan investor dalam menyusun perencanaan jangka panjang. Tanpa kepastian ini, Indonesia berisiko kehilangan daya tarik sebagai tujuan investasi di Asia Tenggara,” kata Slamet, menggarisbawahi bahwa negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, telah lebih dulu menarik investasi manufaktur strategis melalui kebijakan ramah investor.
Terkait perubahan pada 21 pasal dalam UU Cipta Kerja yang diputuskan MK, APINDO Kaltim menyatakan bahwa dunia usaha perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap rencana perusahaan ke depan, terutama terkait peningkatan beban operasional.
“Beban operasional yang semakin besar akan memengaruhi daya saing usaha, khususnya di sektor padat karya seperti manufaktur, yang mempekerjakan banyak tenaga kerja dan sangat sensitif terhadap perubahan biaya.”
APINDO juga berharap agar proses penetapan Upah Minimum untuk tahun 2025 tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum keluarnya putusan MK pada 31 Oktober 2024, guna menghindari potensi kerumitan di tingkat daerah dan perusahaan.
Slamet menambahkan bahwa APINDO akan melakukan kajian mendalam terhadap dampak putusan MK ini, terutama terkait kebijakan ketenagakerjaan. “Kami mengharapkan pemerintah melibatkan dunia usaha dalam pembahasan substansi putusan MK ini sesuai dengan UU Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan,” ujarnya.
APINDO berpendapat bahwa dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan yang berkelanjutan, pemerintah perlu mempertimbangkan situasi ekonomi makro yang dihadapi dunia usaha.
“Kebijakan yang adaptif dan proporsional akan berdampak positif tidak hanya bagi pekerja, tetapi juga bagi keberlangsungan usaha dan daya saing Indonesia di pasar internasional,” pungkas Slamet, yang menyatakan bahwa pandangan ini sesuai dengan sikap Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APINDO. (*)